Di SMU, yang kuhadapi tidak jauh berbeda dengan pengalamanku di SMP. Aku juga bersekolah di salah satu SMU unggulan.
Keadaan ekonomi keluargaku juga tidak membaik. Jurangnya ekonomi keluargaku justru semakin tampak.
Aku tidak memiliki apa yang teman-temanku miliki. Aku tidak memiliki
motor bagus, aku tidak memiliki ponsel yang bagus, tak memiliki sisa
uang saku yang banyak. Pokoknya apa-apa yang kumiliki hanya pas-pasan.
Di SMU ini pula aku mengukir prestasiku dalam hal menulis, baik di
sekolah maupun di tingkat provinsi. Aku pernah masuk nominasi dalam
beberapa lomba yang diselenggarakan di tingkat provinsi, dan ini menjadi
penghibur bagiku.
Aku memiliki harapan baru akan hidupku yang lebih baik. Aku tak lagi terlalu terpaku pada masalah keluargaku.
Di sisi lain, dari pengalamanku berjumpa banyak orang dan teman, aku
memiliki idealisme tersendiri akan sebuah keluarga. Keluarga ideal
bagiku adalah keluarga yang bahagia, kecukupan materi dan non materi,
terutama materinya. Aku merasa ada yang kurang dari keluargaku.
Dalam hal perhatian dan cinta aku merasa tidak kekurangan tapi dalam
hal materi aku merasa kurang. Keluargaku tidak sesuai dengan
idealismeku. Sekurang-kurangnya apa yang kudapatkan belum sesuai dengan
apa yang kuberikan (prestasi-prestasiku).
Pernah pada suatu ketika aku marah besar.
Pertama, aku marah kepada diriku sendiri, kenapa dilahirkan dalam
keluarga yang hidupnya pas-pasan ini? Kenapa aku harus melalui masa-masa
harus tergantung kepada orangtuaku?
Kedua, aku marah kepada orangtuaku. Aku marah karena mereka tidak
bisa membahagiakan aku dengan sempurna. Mereka tidak bisa memberi aku
cukup materi. Mereka tak bisa memberi aku fasilitas hidup yang bagus dan
membanggakan.
Bahkan aku juga marah kepada Tuhan. “Tuhan, mengapa aku yang harus mengalami semuanya ini? Mengapa harus aku?”
Aku merasa dalam peristiwa ini tidak ada keadilan. Aku merasa,
perbuatan-perbuatan baikku, prestasi-prestasiku, tidak ada gunanya.
Nyatanya, teman-temanku yang nggak karuan hidupnya bisa lebih bahagia
dan tercukupi kebutuhannya. Bahkan sampai melimpah. Sedangkan aku kerap
kali harus menanggalkan keinginan-keinginanku karena tak akan bisa
kudapat.
Aku iri. Aku menolak diriku, orangtuaku, dan keadaanku.
Aku sering berandai-andai menjadi temanku. Betapa enaknya mereka:
tidak usah belajar keras, mendapat fasilitas lengkap, uang saku banyak,
rumah bagus. Pokoknya serba menyenangkan. Aku juga ingin seperti
teman-temanku yang lain; aku merindukan orangtua yang bisa memenuhi
kebutuhan materialku, tidak hanya cinta dan perhatian. Aku merasa, hal
itu masih kurang.
Menurut pendapatku keluarga ideal belum bisa kucapai bersama orangtuaku. Aku belum merasa bahagia dengan keadaanku.
Itulah kehidupanku yang lalu. Saat itu aku meratapi apa yang terjadi padaku.
Aku menjadi pemberontak kecil, namun tidak pernah marah di hadapan
orangtuaku. Tidak pernah sampai membanting barang-barang. Aku
melampiaskannya dengan menulis.
Aku menulis apa pun yang ingin kuhujatkan di dalam bukuku. Biasanya
aku mengurung diri di kamar, diam, merenung, dan menulis sampai
kemarahanku berkurang. Setelah itu semua berjalan seperti biasa.
Pada suatu saat, setelah aku semakin menjadi dewasa, aku menemukan
sebuah kesadaran. Ternyata aku merindukan sebuah idealisme keluarga
dengan menolak realitasku.
Padahal, di dunia ini tidak ada yang ideal. Segala sesuatu pasti ada
kekurangannya. Dalam hidup ini, ada hal-hal yang bisa kukendalikan dan
ada yang tidak. Aku tidak bisa mengenalikan tempat aku akan lahir, di
keluarga mana aku hidup, siapa ayahku, siapa ibuku, dan sebagainya.
Namun ada hal yang bisa kukendalikan, yaitu reaksiku terhadap semua itu.
Aku mulai berpikir jernih. Ternyata selama ini aku memandang kedua
orangtuaku hanya dengan kacamata materi. Aku tidak pernah memperhatikan
aspek lainnya. Maka aku juga merasa berdosa terhadap mereka. Aku buta.
Aku hanya ingin semuanya tersedia. Aku tidak pernah mengerti bagaimana
orangtuaku mengusahakannya untukku.
Aku telah terenggut tiga godaan utama manusia, yaitu dunia, daging, dan setan.
Aku telah menolak realitas yang diberikan Tuhan padaku untuk kuhadapi.
Aku juga disadarkan, aku terlalu mencintai dunia dan keinginan akan
harta milik. Aku diperbudak dan terjerat oleh pandangan palsu.
Akibatnya, karena tak dapat memilikinya aku menolak hidupku, bahkan
orangtuaku.
Hingga suatu hari kurasakan ucapan-Nya, “Orang yang berbahagia
adalah orang yang bersemangat miskin”. Kini aku melihat orangtuaku
dengan cara lain. Ternyata perjuangan mereka bagiku begitu keras;
bekerja untukku, mencukupi kebutuhan keluarga, walau sulit. Aku tak
pernah mau mengerti bahwa mereka selalu ingin membahagiakan diriku
sampai tetesan keringat yang penghabisan.
Di balik semuanya itu aku melihat Tuhan memberi banyak. Aku memiliki
orangtua yang mencintaiku, orangtua yang bisa memberiku kebebasan. Aku
tak pernah merasa dikekang. Setiap kali aku minta izin ikut kegiatan ini
atau itu mereka selalu mengizinkanku. Mereka telah menjadi teladan yang
nyata, mengajariku mengenal lebih luas arti kehidupan manusia: manusia
itu tidak hidup hanya untuk bahagia tetapi juga untuk menderita.
Aku tahu cinta mereka lebih bernilai daripada barang dan harga
seberapa pun banyaknya. Aku yakin tidak akan tumbuh menjadi aku seperti
sekarang jika hanya mendapat materi yang cukup, tetapi tanpa cinta
mereka. Cinta lebih penting daripada materi. Aku merasa lebih bersyukur
karena mendapatkan lebih banyak cinta daripada yang lain. Aku salah
melihat karena wawasanku kurang luas dan idealismeku keliru. Aku yakin
mereka adalah yang terbaik bagiku. Terima kasih Tuhan.
: