Selain itu, disebutkan pula bahwa Allah bersemayam di atas Arasy yakni tempat yang tinggi dimana manusia tak mampu memikirkannya apalagi menghampirinya (QS.10:3,13:2,20:5,25:5). Meskipun pada sisi lain, bahwa Dia lebih dekat dari pada urat leher kita sendiri, tapi seringkali tak bisa merasakan kehadirannya. (QS.2:186, 50:16). Lalu, bagaimana cara menemui Allah ?
Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi
Rumah-Nya, Baitullah. Meskipun, boleh jadi Dia tengah tak ada atau tak
berkenan untuk membuka pintu Rumah-Nya. Kalau pun bisa menemui-Nya,
tentu bersifat personal dan belum tentu berdampak pada relasi sosial
(pemberdayaan umat).
Sementara, menemui-Nya saat bersemayam di atas Arasy, tentu jalan
yang tak mungkin dilalui oleh manusia biasa. Lalu bagaimana cara
menemui-Nya yang dampaknya bukan hanya individual (hablum minallah),
tapi juga sosial (hablum minannas) ?
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam buku 40 Hadits Qudsi Pilihan,
(Lentera Hati, 2010), dinukil sebuah Hadits Qudsi (Hadits yang
redaksinya dari Rasulullah SAW tapi maknanya dari Allah SWT.) dari Abu
Hurairah Ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah SAW.
Bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan
berfirman pada Hari Kiamat :
Wahai putra putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau
tak mengunjungi-Ku ? Ibnu Adam bertanya : ”Yaa Rabb, bagaimana aku
mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah
berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa
engkau tidak menjenguknya ? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau
menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana”.
Wahai putra putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa
engkau tidak memberi-Ku makan ?”. Ibnu Adam pun bertanya : “Yaa Rabb,
bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian
alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si
Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya
makan ? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan,
niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku ?”.
Wahai putra putri Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak
memberi-Ku minum ? Lalu Ibnu Adam bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku
memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian Alam”?.
Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa Hamba-Ku si Fulan telah
minta minum kepadamu, tetapi mengapa engkau tidak memberinya minum ?
Seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan itu
(ganjarannya) di sisi-Ku.”
Jika kita simak Hadits di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui
Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang
berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang
sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia
berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang
Muslim untuk menjeguknya (HR. Muslim).
Mengunjungi orang sakit tidak sekedar lepasnya kewajiban, tapi justru
dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Hubungan yang
disharmoni seringkali terbangun kembali setelah mengunjungi yang sakit.
Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat
kesembuhan.
Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit
yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT karena Allah
pun senantiasa berada di sisi mereka yang sabar akan derita yang
menimpa. Dalam kondisi demikian, mereka seringkali diabaikan dan
terlupakan. Kita terkadang kaget dan menyesali, setelah mendapat kabar
kematian si sakit sementara belum sempat menjenguknya.
Pesan kedua dan ketiga Hadits di atas adalah memberi makan dan minum.
Kaum dhuafa dan mustdh’afin (anak yatim, miskin, terlantar, tertawan,
hidup berkalang tanah beratap langit, kekurangan gizi dan kelaparan)
yang jumlahnya semakin bertambah adalah hamba-hamba yang dikasihi Allah.
Mereka sengaja dihadirkan oleh Allah untuk menguji keimanan dan
komitmen sosial kita sekaligus sebagai jalan menemui Allah SWT.
Konon, Nabi Musa As. pernah bertanya kepada Allah, dimana ia bisa
menemui-Nya. Allah menjawab : “Temuilah Aku di tengah orang yang hancur
hatinya”. Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan
orang yatim, miskin dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai
pendusta agama jika tidak menyantuni mereka
(QS.2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).
Justru dengan jalan yang tidak mudah ini, kita bisa menemui Allah
dengan rasa bahagia, tenang dan nikmat baik dunia maupun akhirat. Tapi
itu semua bisa diraih hanya dengan ikhlas dalam beramal shaleh dan tidak
menyekutukan-Nya. (QS.18:110).
Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah
yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. “Jangan menunggu kaya
baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu
sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses”, demikian
orang bijak berkata.
Selagi ada kesempatan dan umur untuk melakukan kebaikan, maka lakukan
sekarang. Jangan menunggu kaya atau sukses. Boleh jadi belum sempat
kaya atau sukses ajal telah tiba. Menyesal kemudian tiada berguna.
(QS.63:10-11). Sedekah yang paling tinggi nilainya adalah pada saat kita
juga membutuhkan. Dan, jika mampu melakukannya, luar biasa nikmatnya
dan Allah pun segera memberi ganti yang berlipat dan tidak terkira-kira
(laa yahtasib). Insya Allah !
Oleh : Ustadz Hasan Basri Tanjung, MA
Artikel : republika.co.id
Artikel : republika.co.id
http://nebarto.wordpress.com/2012/01/27/menemui-allah/
: