Proses melatih jiwa ini adalah salah satu fase yang harus ditempuh oleh orang yang menempuh perjalanan menuju Allah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Madaarijus Saalikin menyebut fase ini dengan fase ‘Riyadhah’. Yakni melatih jiwa untuk menerima kebenaran baik secara lisan, perbuatan, maupun kehendak. Dengan kata lain, ‘riyadhah’ adalah aktivitas diri untuk menyiapkan jiwa agar mampu menunaikan tugas-tugas yang telah Allah gariskan kepada manusia selaku hamba-Nya. Orang-orang yang mengharap prestasi tinggi dalam hal ‘ubudiyah kepada Allah tentu akan gigih melatih jiwa, hingga kekuatan raga akan menyesuaikannya.
Ada kalanya seseorang membaca atau mendengar kisah tentang gigihnya para salaf dalam mencari ilmu dan beribadah, iapun langsung menggebu-nggebu untuk menirunya. Seperti orang yang hendak bertanding dalam kejuaraan olah raga berat yang tak diawali dengan pemanasan, hingga berakibat cidera dan gagallah pertandingan.
Semangat menggebu memang perlu, tekad membaja memang harus ada, akan tetapi stamina harus dijaga, di samping harus senantiasa waspada. Bisa jadi setan membisikkan agar manusia memikul beban yang banyak dan berat, dan lupa bahwa tenaga belum sepadan dengan beban, perbekalan juga belum seimbang dengan jauhnya perjalanan. Sehingga ia akan menghentikan langkah dan menyerah sebelum menyelesaikan perjalanannya. Hingga iapun harus kembali ke titik awal di mana ia memulai perjalanan.
Betapa sering hal ini terjadi, seseorang yang gigih menyempurnakan shalat malamnya dengan rakaat yang panjang, hingga terkadang shalat Subuh berjamaah menjadi korban. Atau rasa bosan segera menghinggapi sebelum ia menjadikannya sebagai kebiasaan.
Maka, alangkah pentingnya ‘mudaawamah’ (kontinuitas) dalam proses latihan. Menjaga rutinitas amal semestinya lebih diprioritaskan dari memperbanyak dan memperberat amal. Imam Abu Hasan al-Mawardi dalam kitabnya ‘Adabud Dunya wad Dien’ menyebutkan sisi lemah orang yang cenderung memperbanyak amal dan memperberat beban. Pertama, bisa jadi disebabkan terlalu banyak mengerjakan yang sunnah lalu terhalang untuk mengerjakan yang wajib. Sehingga hakikatnya justru terjadi pengurangan nilai. Kedua, orang yang mengamalkan banyak hal dalam waktu yang singkat biasanya tak akan bertahan lama. Ia mengerjakan di satu waktu lalu meninggalkannya dalam waktu yang lain. Dan tatkala ia tidak mengerjakannya, seringkali waktu diisi dengan hal-hal yang sia-sia.
Maka amal yang dikerjakan secara rutin meskipun dimulai dari yang ringan dan sedikit akan lebih baik karena lebih mampu menjaga ruh dan ingatan. Ini pula yang dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا، وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara rutin meskipun sedikit.” (HR Muslim)
Dan terhadap orang yang menyelisihi cara ini, beliau memberikan peringatan, “Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dahulunya bersemangat Shalat Malam, kemudian ia meinggalkannya.” (HR. Bukhari).
Kita berlindung kepada Allah dari sifat malas dan kelemahan jiwa. (Abu Umar Abdillah).
Posted in Abu Umar Abdillah, Kolom | Tagged jiwa terlatih raga tak letih, olahraga jiwa, raga sehat, sehat raga
: