Oleh: Rahmat Saptono
Tak satupun manusia lepas dari gangguan setan. Sesuai dengan namanya,
shatana atau sesuatu yang jauh, setan senantiasa menggoda manusia dari
tempat yang jauh (tak terlihat) dan mengajak manusia menjauh dari
kebaikan. Sudah menjadi komitmen setan untuk terus menerus menggoda dan
menganggu anak cucu Adam AS hingga akhir jaman. Kadang-kadang kita
dibuat geram oleh ulahnya sehingga ingin mengekspresikannya dengan
ucapan atau perbuatan.
Suatu ketika seorang sahabat mengekspresikan kejengkelannya dengan
memaki setan saat hewan tunggangan Rasulullah SAW tersandung. “Terkutuk
setan”.
Rasulullah SAW yang kebetulan mendengarnya menasihati, “Jangan
berkata “Terkutuk setan”, karena jika kamu berkata seperti itu, setan
menjadi arogan dan berkata: Dengan kekuatanku akan kubuat ia jatuh.
Ketika kau berkata, “Bismillah”, setan akan menjadi sekecil lalat”. (HR
Ahmad).
Demikianlah cara yang diajarkan Rasulullah SAW menghadapi mahluk yang
sombong. Tidak dengan cacian dan makian, tetapi dengan menyebut nama
Allah.
Di dalam ibadah haji pun kita diberi kesempatan untuk mengekspresikan kemarahan dan permusuhan kita terhadap iblis dalam ritual melempar jumrah.
Di dalam ibadah haji pun kita diberi kesempatan untuk mengekspresikan kemarahan dan permusuhan kita terhadap iblis dalam ritual melempar jumrah.
Dengan kerikil sebesar biji jagung yang telah disiapkan sebelumnya,
kita melemparinya sambil tetap mengingat dan menyebut nama Allah Zat
Yang Maha Besar “Bismillahi Allahu Akbar”.
Mencaci maki bukanlah cara yang diajarkan Islam untuk mengekspresikan
kemarahan, membalas atau melawan kesombongan. Logika sederhana
mengatakan, kalau kita balas dan lawan kesombongan dengan caci maki,
lalu apa beda kita dengan mereka?.
Alasannya adalah hanya karena ajaran Islam terlalu mulia untuk itu.
Mencaci maki pun kadang bagaikan menepuk air didulang terpercik muka
sendiri. Rasulullah SAW punya logika sederhana untuk itu.
Telah bersabda Rasulullah SAW, “Termasuk dosa besar adalah seseorang
mencaci-maki kedua orang tuanya,” Para sahabat bertanya, “Bagaimana
seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”, Maka beliau SAW
menjawab: “Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu
mencaci maki kembali orang tuanya” (HR Bukhari)
Mencaci maki, apalagi membakar patung tokoh, bendera, atau
simbol-simbol yang dihormati suatu kaum untuk mengekspresikan kemarahan
bukanlah akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW. Karena, mengambil
pelajaran dari hadits tadi, hal itu tidak berbeda dengan melakukannya
terhadap apa yang kita hormati sendiri.
terhadap apa yang kita hormati sendiri.
Alangkah indahnya jika hujatan atau caci maki digantikan dengan cara
yang bermartabat seperti telah diajarkan Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. “Allah Maha Besar Sungguh Maha Besar, Segala Puji hanya bagi
Allah Pujian yang amat banyak, Tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Esa,
Tiada Sekutu bagi-Nya.”
: