Oleh KH Didin Hafidhuddin
Sebagaimana telah sama sama kita yakini bahwa orang-orang yang
beriman adalah orang-orang yang didorong untuk selalu sukses di dalam
kehidupannya (kesuksesan yang hakiki), baik di dunia maupun di akhirat
nanti, apa pun posisi, kedudukan, dan profesinya. Seruan untuk menggapai
kemenangan dan kesuksesan ini dikumandangkan pada setiap azan maupun
ikamah ketika hendak melaksanakan shalat, yaitu kalimat hayya
‘alal-falaah (mari kita raih kesuksesan dan keberhasilan).
Yang perlu kita sadari bersama bahwa indikator kesukesan dalam
pandangan ajaran Islam bukan semata-mata pada aspek materi dan bukan
pula sebaliknya hanya pada aspek rohani. Bukan pula pada aspek
hablumminallah saja dengan mengabaikan hablumminannas atau sebaliknya,
tetapi keseimbangan antara keduanya (tawazun) saling melengkapi dan
saling mengisi.
Indikator kesuksesan yang bersifat tawazun ini, antara lain, seperti diungkapkan dalam QS Al-Mukminun (23): 1-11 (yang sering dijadikan contoh pribadi Rasulullah SAW yang sukses), yaitu: pertama, selalu berusaha untuk menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan dengan cara menjadikan shalat sebagai sebuah kebutuhan utama di samping kewajiban. Shalat dijadikan sebagai medium utama untuk meraih pertolongan dan ridha Allah SWT. Apalagi jika ditambah dengan shalat berjamaah yang dijadikannya untuk membangun silaturahim dan menguatkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama orang yang rukuk dan sujud.
Indikator kesuksesan yang bersifat tawazun ini, antara lain, seperti diungkapkan dalam QS Al-Mukminun (23): 1-11 (yang sering dijadikan contoh pribadi Rasulullah SAW yang sukses), yaitu: pertama, selalu berusaha untuk menegakkan shalat dengan penuh kekhusyukan dengan cara menjadikan shalat sebagai sebuah kebutuhan utama di samping kewajiban. Shalat dijadikan sebagai medium utama untuk meraih pertolongan dan ridha Allah SWT. Apalagi jika ditambah dengan shalat berjamaah yang dijadikannya untuk membangun silaturahim dan menguatkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama orang yang rukuk dan sujud.
Kedua, mampu menghindarkan diri dari ucapan dan tindakan yang tidak
ada manfaatnya. Artinya, berusaha memiliki etos kerja dan produktivitas
yang tinggi serta mempersembahkan yang terbaik dalam bidang dan
keahliannya sehingga betul-betul menjadi orang yang bermanfaat bagi
masyarakat dan lingkungannya.
Ketiga, selalu berusaha mengeluarkan sebagian hartanya untuk
diberikan kepada yang membutuhkan, terutama kaum dhuafa dalam bentuk
zakat, infak, dan bentukbentuk kedermawanan lainnya.
Sikap ini akan melahirkan kekuatan etika dan moral di dalam mencari rezeki. Hanya rezeki yang halal-lah yang ingin ia dapatkan.
Sikap ini akan melahirkan kekuatan etika dan moral di dalam mencari rezeki. Hanya rezeki yang halal-lah yang ingin ia dapatkan.
Keempat, mampu menjaga akhlak dan kehormatannya dalam pergaulan
dengan lawan jenis sehingga selalu terjaga kejernihan hati, pikiran, dan
juga raganya. Dalam situasi apa pun tidak pernah melakukan kegiatan
hura-hura yang penuh dengan kebebasan dan permisif.
Kelima, selalu ber usaha menjaga amanah dan janjinya. Disadari betul
bahwa segala potensi yang ada pada dirinya se-perti ilmu pengetahuan dan
harta meru pakan amanah dan titipan dari Allah SWT yang kemudian akan
dipertangungjawabkan di hadapanNya. Persepsi dan pandangan seperti ini
akan menyebabkan seseorang tidak akan pernah menghalalkan segala macam
cara untuk meraih kenikmatan dunia yang sifatnya sesaat dan sementara.
Inilah beberapa indikator kesuksesan hidup seorang Muslim kapan dan
di mana pun, yang mudah-mudahan menjadi guideline dalam mengaplikasikan
dan mengimplementasikan.
Niat yang ikhlas dan kerja keras yang dilandasi dengan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT merupakan bingkai utamanya. Wallahu a’lam.
Dimuat di Edisi Ulang Tahun Republika, 4 Januari 2011
: