Rasulullah SAW tampak keheranan mendengar pengakuan tulus Ma’iz bin
Malik. Sadarkah Ma’iz bahwa pengakuannya berakibat dijatuhi hukuman
mati? Karena itu, Rasulullah bertanya, apakah orang ini sedang mengalami
gangguan kejiwaan. “Ia tidak gila!” jawab sahabat yang hadir.
Namun, Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya. Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. “Ya,” jawab Ma’iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina. Dia siap menjalani hukuman rajam.
Namun, Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya. Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. “Ya,” jawab Ma’iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina. Dia siap menjalani hukuman rajam.
Kasus serupa terjadi pada diri wanita Ghamidiyah asal lembah
Juhainah. Di hadapan Rasulullah SAW ia mengaku hamil hasil zina, dan
memohon agar dijatuhi hukuman rajam seperti terjadi pada Ma’iz.
Rasulullah SAW menganjurkan agar ia segera bertaubat kepada Allah,
sambil menunggu lahir bayi yang di kandungnya.
Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih.
Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih.
Wanita malang ini datang kembali sambil menggendong anaknya, di
tangannya ada sepotong roti sebagai tanda bahwa sang anak benar-benar
sudah disapih.
Kesempatan ini mestinya dapat dimanfaatkan oleh Ghamidiyah untuk
melarikan diri. Rasulullah pun tidak akan menyuruh para sahabat mencari
wanita itu, atau memasukkannya dalam daftar buronan jika benar bahwa
setelah anaknya disapih ternyata ia tidak melaporkan diri. Tampaknya
Rasulullah SAW sangat memahami bahwa wanita ini sungguh-sungguh
bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Ma’iz dan Ghamidiyah adalah sosok dua anak manusia langka di zaman
sekarang ini. Keduanya datang melaporkan diri, mengakui kesalahannya,
lalu minta dihukum dengan hukuman paling berat yang merenggut nyawa.
Keduanya seperti tidak yakin bahwa taubatnya diterima oleh Allah,
jika hanya dengan lantunan doa dan istighfar, tanpa menjalani hukuman
rajam. Keduanya memilih hukuman di dunia walaupun teramat berat,
daripada di akhirat nanti dihukum dengan hukuman yang lebih dahsyat.
Usai eksekusi para sahabat masih memperdebatkan, apakah taubatnya
diterima oleh Allah atau tidak? Bahkan Umar bin Khattab mempertanyakan,
apa layak menshalatkan jenazah orang yang berbuat dosa zina seperti ini?
“Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa,” ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).
“Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa,” ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).
Perubahan drastis bisa terjadi pada diri seorang Muslim, manakala
keyakinan akan adanya kehidupan di hari akhirat, meresap ke lubuk hati
yang paling dalam. Wallahu a’lam. (Dimuat di Republika)
: