Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Namanya Jundub bin Junadah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Abu
Dzar al-Ghiffari. Sahabat Nabi ini terkenal dengan sikap zuhudnya serta
pandangan khasnya tentang harta. Bagi Abu Dzar, menyimpan harta dalam
jumlah yang berlebih dari kebutuhan keluarga adalah haram. Ayat yang
sering dikutip Abu Dzar: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka,
(mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah [9]: 34).
Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya.
Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya.
Suatu hari, seseorang datang ke kediaman Abu Dzar. Tamu itu
melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat
apa-apa di rumah itu. “Hai Abu Dzar! Di mana barang-barang Anda?” Abu
Dzar menjawab, “Kami mempunyai rumah yang lain. Barang-barang kami yang
bagus telah kami kirim ke sana.”
Tamu itu rupanya mengerti bahwa yang dimaksud Abu Dzar adalah
akhirat. Lalu tamu tadi berkata, “Tetapi, Anda juga memerlukan
barang-barang itu di rumah ini?” Maksudnya, di dunia. Abu Dzar dengan
tangkas menjawab, “Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan
kami tinggal di sini buat selama-lamanya.”
Abu Dzar sering menyampaikan kepada kaum dhuafa bahwa pada harta
orang-orang kaya itu ada hak mereka. Sebagai gubernur, Muawiyah khawatir
kalau-kalau cara pandang Abu Dzar itu akan mendorong orang-orang miskin
merampasi harta kekayaan orang kaya. Dia melaporkan Abu Dzar kepada
Khalifah Usman di Madinah. Khalifah memanggil Abu Dzar dan dua sahabat
ahli tafsir untuk menguji penafsiran Abu Dzar terhadap surah at-Taubah
ayat 34 itu. Keduanya menyatakan bahwa yang diancam oleh ayat tersebut
adalah orang-orang yang menimbun kekayaan dan tidak menunaikan
kewajibannya membayar zakat.
Setelah peristiwa itu, Abu Dzar tidak mau kembali lagi ke Damaskus
dan juga tidak mau menetap di Madinah. Dalam pandangan dia, umat Islam
di kedua kota tersebut tidak lagi hidup secara sederhana seperti yang
dicontohkan Rasulullah SAW. Dia minta izin tinggal di Rabdzah, sebuah
kampung kecil di luar Kota Madinah.
Suatu hari, Abu Dzar berpesan kepada putrinya. Jika lewat kafilah di
kampung kita ini, jamulah mereka makan. Setelah itu tanyakan kepada
mereka, apakah Abu Dzar termasuk ahli surga atau bukan. Putrinya heran,
karena biasanya pertanyaan itu diajukan setelah seseorang meninggal
dunia. Mengetahui ada kafilah datang dan putrinya sudah menyiapkan
jamuan, Abu Dzar mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dengan
khusyuk. Setelah shalat, dia berbaring dan melipat kedua tangannya,
kemudian tenang. Pada saat itulah Allah SWT memanggilnya. Alangkah
indahnya kematian sahabat kaum dhuafa ini.
: